Di sebuah ruang kecil di sudut Palembang, suasana terasa tenang namun penuh makna. Jari-jemari lincah Bu Rini, seorang pengrajin kain songket, menari di atas alat tenun. Benang emas yang ia sulamkan membentuk pola-pola megah, sebuah hasil kerja keras yang membutuhkan kesabaran dan ketelitian. Di balik kecantikan kain songket yang mendunia, ada perempuan-perempuan seperti Bu Rini yang dengan penuh dedikasi melestarikan salah satu warisan budaya tertua Palembang.
Kain songket Palembang bukan sekadar kain. Ia adalah simbol keagungan yang menyatu dengan adat dan tradisi masyarakat Melayu. Motif-motifnya, seperti bunga cempaka dan daun pakis, menyimpan filosofi kehidupan. "Setiap helai benang ini bercerita," ujar Bu Rini, yang telah menenun sejak usia belasan tahun.
Proses membuat songket tidaklah mudah. Dibutuhkan waktu berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, untuk menyelesaikan satu kain. Namun bagi perempuan-perempuan seperti Bu Rini, menenun bukan hanya soal pekerjaan. "Kami menjaga tradisi leluhur. Kalau bukan kami, siapa lagi?" katanya sambil tersenyum.
Selain menjadi sumber mata pencaharian, songket juga menjadi bagian penting dalam kehidupan sosial. Setiap keluarga di Palembang bangga memiliki songket, terutama yang digunakan dalam acara-acara adat seperti pernikahan. Hal ini membuat pengrajin songket seperti Bu Rini tidak hanya dihormati karena keahlian mereka, tetapi juga dianggap sebagai penjaga tradisi.
Tidak hanya dalam menenun, perempuan Palembang juga memainkan peran sentral dalam berbagai prosesi adat, terutama pernikahan. Dalam tradisi pernikahan adat Palembang, peran perempuan sangat menonjol, mulai dari mempersiapkan mas kawin, hingga menjadi "juru masak" yang menyiapkan hidangan khas seperti pindang dan dodol.
Mbak Yuni, seorang perempuan yang kerap menjadi pembawa adat dalam pernikahan tradisional Palembang, menjelaskan bagaimana peran perempuan sangat dihargai. "Kami bukan hanya pengatur acara. Kami juga penyampai nilai-nilai leluhur," katanya.
Salah satu prosesi yang memperlihatkan kontribusi perempuan adalah adat seserahan. Dalam momen ini, perempuan dari pihak keluarga mempersiapkan berbagai persembahan yang dihias dengan indah, seperti makanan tradisional dan kain songket. Semua dilakukan dengan penuh cinta dan rasa hormat terhadap adat.
Namun, peran perempuan sebagai penjaga tradisi tidak selalu mudah di tengah arus modernisasi. "Anak muda sekarang lebih suka hal yang instan," keluh Bu Rini. Banyak generasi muda yang mulai melupakan seni menenun karena dianggap tidak praktis.
Meski demikian, perempuan-perempuan seperti Bu Rini dan Mbak Yuni tidak menyerah. Mereka aktif mengajarkan keterampilan menenun kepada generasi muda melalui sanggar-sanggar seni. Begitu pula dalam adat, para perempuan terus menanamkan nilai-nilai tradisional kepada anak-anak mereka.
"Tradisi ini adalah identitas kita," tegas Mbak Yuni. "Kalau tidak dijaga, kita akan kehilangan jati diri."
Di balik keindahan kain songket dan megahnya prosesi adat Palembang, berdiri perempuan-perempuan tangguh yang dengan sepenuh hati melestarikan warisan leluhur. Peran mereka tidak hanya menjaga tradisi, tetapi juga menjadi bukti bahwa perempuan adalah pilar penting dalam membangun identitas budaya.
Seperti benang emas dalam songket, kontribusi mereka adalah kilau abadi dalam peradaban Palembang yang tak pernah pudar oleh zaman.